RH : "Drama (atau malah "tragedi") pada pembukaan Kongres PDIP di Bali baru-baru ini sangat menarik buat dicermati. Dua tokoh yang berlatar belakang seperti bumi dan langit dimunculkan takdir untuk mengadu peran di panggung dunia. Yang satu adalah Megawati anak seorang Proklamator dan Presiden Pertama Republik Indonesia. Ayahnya punya gelar pujian dan sanjungan berderet-deret a.l.: Paduka Yang Mulia, Pemimpin Besar Revolusi, Penyambung Lidah Rakyat dan diangkat MPR(S) sebagai Presiden Seumur Hidup. Masa kecil sampai dewasa Megawati hidup di Istana Presiden, di lingkungan sangat feodal yang penuh sopan-santun dan basa-basi protokoler meskipun ayahnya selalu berpura-pura sangat merakyat. (Lha panggilan resminya "Paduka Yang
Mulia", itu!) Yang lain anak seorang desa, tinggal di pinggir kali yang rumah orang-tuanya pernah tiga kali kena gusur saking miskin-papa dan tidak berdayanya keluarga itu. Susah payah berjuang tanpa katrol dan dukungan penguasa atau konglomerat, dari sangat bawah lalu berhasil menjadi pengusaha yang sukses. (Fasilitas apa yang bisa diperoleh anak pinggir kali untuk jadi pengusaha di Indonesia???) Berhasil jadi pengusaha sukses, Jokowi kemudian mengabdikan hidupnya untuk rakyat dengan berkiprah jadi Walikota Solo, (dapat pengakuan Internasional sebagai salah satu walikota terbaik dunia), lalu jadi Gubernur DKI Jakarta, dan sekarang jadi Presiden Republik Indonesia TERPILIH (bukan diangkat seperti Megawati). Misteri hidup mengantarkan keduanya bertemu di Kongres PDIP di Bali itu. Di Kongres ini Megawati berfoya-foya mempertontonkan tabiat buruknya sebagai anak manja (bekas) Presiden yang biasa hidup di lingkungan feodal istana dulu. Tanpa peduli etiket dan sopan-santun protokoler maupun adat-istiadat dan tradisi ketimuran dengan arogannya Megawati menghina dan mempermalukan simbol-simbol negara yaitu Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Menghina dan mengecilkan seluruh rakyat Indonesia juga dengan mengingatkan bahwa Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia ini HANYALAH SEKEDAR petugas partai yang wajib menjalankan policy partainya! Tunduk kepada perintah dirinya sebagai Ketua Umum PDIP. Bukan hanya semata-mata mengabdi kepada Bangsa dan Negara Republik Indonesia! Di sini kita betul-betul harus bangga mempunyai seorang Presiden yang bernama panggilan akrab "Jokowi" ini! Jokowi tidak bersikap seperti "Petruk dadi Ratu", atau "Kere munggah bale". Presiden hebat ini tetap teguh menjadi dirinya sendiri. Yang tahu etiket, dan sopan-santun serta tetap rendah-hati. Sama sekali tidak terganggu oleh 'tantrum' anak (bekas) presiden yang lupa akan status dan usianya yang sudah bukan balita lagi itu. Raut wajahnya tidak berubah sedikitpun. Tidak kena dipancing wartawan mengenai sikap Megawati yang sungguh kurang-ajar terhadapnya sebagai Pejabat tertinggi dan simbol negara Republik Indonesia ini. (Jokowi datang ke Bali itu dengan pesawat dan kawalan kepresidenan lengkap!) Dengan kesantunan Jawanya, Jokowi langsung "menghajar balik" sikap arogan Megawati: dengan sopannya menuangkan minuman untuk Megawati! Megawati sama sekali tidak sadar sedang ditempeleng dan dipermalukan Jokowi di atas panggung dunia saat itu ==> Seorang presiden dari negara berpenduduk 253 juta rakyat dan luas negaranya sejarak Teheran ke London memperlihatkan sikap gentlemannya terhadap seorang perempuan tua yang baru saja memarah-marahinya tanpa rasa hormat dan malu. Terbuktilah, latar-belakang kehidupan maupun "trah" atau keturunan sama sekali bukan jaminan untuk mempunyai sifat dan karakter yang mulia. Kalau bukan bawaan lahir, sifat-sifat unggul hanyaakan muncul melalui latihan dan kebiasaan hidup sehari-hari. Saya tidak tahu dari mana Jokowi mendapat anugerah ini. Banyak orang terpancing dan menganggap dengan sikapnya itu Jokowi membuktikan dirinya adalah boneka dan kacung Megawati. Saya melihat sebaliknya. Hanya mereka yang pernah menjadi pemimpin dan atau atasan di organisasi apa saja yang akan faham arti dan ironi tontonan ini. Sungguh, bertambah lagi kekaguman saya terhadap Jago Catur Jawa dengan jurus The Drunken Masternya ini. Semakin bingunglah lawan-lawan politiknya membaca tindak langkah Jokowi mencapai target yang hendak dicapainya! Tetap begitu ya, Pak. Pemilu depan jangan ikut PDIP lagi, ya!....Yang saya baca ini sing nulis temen saya. Menurut saya bagus ...........
Mulia", itu!) Yang lain anak seorang desa, tinggal di pinggir kali yang rumah orang-tuanya pernah tiga kali kena gusur saking miskin-papa dan tidak berdayanya keluarga itu. Susah payah berjuang tanpa katrol dan dukungan penguasa atau konglomerat, dari sangat bawah lalu berhasil menjadi pengusaha yang sukses. (Fasilitas apa yang bisa diperoleh anak pinggir kali untuk jadi pengusaha di Indonesia???) Berhasil jadi pengusaha sukses, Jokowi kemudian mengabdikan hidupnya untuk rakyat dengan berkiprah jadi Walikota Solo, (dapat pengakuan Internasional sebagai salah satu walikota terbaik dunia), lalu jadi Gubernur DKI Jakarta, dan sekarang jadi Presiden Republik Indonesia TERPILIH (bukan diangkat seperti Megawati). Misteri hidup mengantarkan keduanya bertemu di Kongres PDIP di Bali itu. Di Kongres ini Megawati berfoya-foya mempertontonkan tabiat buruknya sebagai anak manja (bekas) Presiden yang biasa hidup di lingkungan feodal istana dulu. Tanpa peduli etiket dan sopan-santun protokoler maupun adat-istiadat dan tradisi ketimuran dengan arogannya Megawati menghina dan mempermalukan simbol-simbol negara yaitu Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Menghina dan mengecilkan seluruh rakyat Indonesia juga dengan mengingatkan bahwa Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia ini HANYALAH SEKEDAR petugas partai yang wajib menjalankan policy partainya! Tunduk kepada perintah dirinya sebagai Ketua Umum PDIP. Bukan hanya semata-mata mengabdi kepada Bangsa dan Negara Republik Indonesia! Di sini kita betul-betul harus bangga mempunyai seorang Presiden yang bernama panggilan akrab "Jokowi" ini! Jokowi tidak bersikap seperti "Petruk dadi Ratu", atau "Kere munggah bale". Presiden hebat ini tetap teguh menjadi dirinya sendiri. Yang tahu etiket, dan sopan-santun serta tetap rendah-hati. Sama sekali tidak terganggu oleh 'tantrum' anak (bekas) presiden yang lupa akan status dan usianya yang sudah bukan balita lagi itu. Raut wajahnya tidak berubah sedikitpun. Tidak kena dipancing wartawan mengenai sikap Megawati yang sungguh kurang-ajar terhadapnya sebagai Pejabat tertinggi dan simbol negara Republik Indonesia ini. (Jokowi datang ke Bali itu dengan pesawat dan kawalan kepresidenan lengkap!) Dengan kesantunan Jawanya, Jokowi langsung "menghajar balik" sikap arogan Megawati: dengan sopannya menuangkan minuman untuk Megawati! Megawati sama sekali tidak sadar sedang ditempeleng dan dipermalukan Jokowi di atas panggung dunia saat itu ==> Seorang presiden dari negara berpenduduk 253 juta rakyat dan luas negaranya sejarak Teheran ke London memperlihatkan sikap gentlemannya terhadap seorang perempuan tua yang baru saja memarah-marahinya tanpa rasa hormat dan malu. Terbuktilah, latar-belakang kehidupan maupun "trah" atau keturunan sama sekali bukan jaminan untuk mempunyai sifat dan karakter yang mulia. Kalau bukan bawaan lahir, sifat-sifat unggul hanyaakan muncul melalui latihan dan kebiasaan hidup sehari-hari. Saya tidak tahu dari mana Jokowi mendapat anugerah ini. Banyak orang terpancing dan menganggap dengan sikapnya itu Jokowi membuktikan dirinya adalah boneka dan kacung Megawati. Saya melihat sebaliknya. Hanya mereka yang pernah menjadi pemimpin dan atau atasan di organisasi apa saja yang akan faham arti dan ironi tontonan ini. Sungguh, bertambah lagi kekaguman saya terhadap Jago Catur Jawa dengan jurus The Drunken Masternya ini. Semakin bingunglah lawan-lawan politiknya membaca tindak langkah Jokowi mencapai target yang hendak dicapainya! Tetap begitu ya, Pak. Pemilu depan jangan ikut PDIP lagi, ya!....Yang saya baca ini sing nulis temen saya. Menurut saya bagus ...........
SB : Piye to awakmu (ABP)kok nggih ...nggih tok...apa awakmu mergo kalah senior karo mbakyu RH, apa memang setuju.
SB : Ee bapak-bapak dan ibu-ibu pelanggan WARTEG. Sajake sing diomongkan bakyu RH kok panjang dan mantap kapan nulisnya. Dowo banget. Sepanjang itu kalau langsung ngomong gak ditulis dulu apa ya ingat....he he he
ABP : @pak SB; kalah senior karo mbakyu RH betul....dengan isine yang di baca yang panjang itu memang dirasakan bener kok.
BR : saya ini adalah pihak yang netral jadi siapapun yang dipilih rakyat harus di dukung......jadi semua bapak-ibu saya nggak melu-melu berkata-kata....
SB : Sedulur kabeh, kalau kita perhatikan yang dikatakan mbakyu RH tadi, kira2 kesimpulannya kan begini ya :
1. Ada dua pemimpin suatu "negara" atau tokoh yang berbeda latar belakangnya. Bedanya seperti langit dan bumi. Yang satu terbiasa hidup dari dilingkungan yang wah...atau istana. Yang satu dari latar belakang anak desa yang tinggal di pinggiran kali yang sering kena gusur.
2. Latar belakang keluarga, trah atau keturunan sama sekali bukan jaminan untuk mempunyai sifat dan karakter yang mulia. Belum tentu juga jaminan untuk mempunyai sifat kenegarawanan.......
3. Kepala negara itu sing milih rakyat lo...bukan anggota partai yang jumlahnya kurang lebih seperempat rakyat. Kalau Kepala Negara jadi terpilih karena suara rakyat yng diperoleh 50% lebih. Jadi kalau hanya satu partai yang milih tentu gak akan jadi. Dan apakah salah partai anggotanya semua memilih calonnya saya yakin tidak juga........belum ada survei kalau semua anggota salah satu partai pasti dukung calonnya. Jadi kepala negara adalah menerima mandat rakyat...bukan pekerja salah satu partai......he he he
ABP : good.....good...kesimpulan nya bagus dari lek SB
BR : setuju .... dengan kesimpulannya lek SB
ABP : Kita-kita saja tahu lo kalau presiden itu...Pemimpin Suatu Negara.......bukan sekedar pemimpin salah satu rombongan ABANG, Rombongan HIJAU, Rombongan KUNING......tapi Pemimpin Kabeh Mau....Jadi siapapun kepala negara nya harus kita dukung programnya dan jangan malah diganggu.....
SB : @ABP, awakmu pelanggan WARTEG paling muda tapi kok....encer juga mikirmu..he he he
SBU : mikirin rejeki saja bro.......jangan mikirin negara ndak malah Kentir......ORA TAK PIKIR
ABP : @SBU, ibu itu sepertinya dari salah rombongan....kalau gak hijau yang rombongan KUNING
Sudah waktunya bekerja bekerja dan bekerja....ora geger urusan rombongan-2 itu...kapan sejahteranya kalau ketua rombongan ngurusi kepentinganne dewe.......
RH : nanti pemilu mendatang jgn pilih rombongan ABANG lagi ya.......
SB : Ya kalau saya kita lihat dululah nantinya perkembanganne piye.....sing penting mau milih wakil atau pemimpin itu sing bisa dipercaya dan sing punya sifat negarawan...
SBU : kalau selalu negarawan ya gak tidak lah....lek SB......nanti berarti gak ada negarawati....he he he
SEBU: semua sedulur aku mau nyimpulkan semua yang dibicarakan para pelanggan WARTEG.....,,, Ego kita secara fundamental mengakar dalam individualitas kita,pengertian kita akan keterpisahan. Kita memihak keterpisahan ini,bukannya memihak diri dan pengertian akan persatuan. Kita memihak kepada pribadi bukan memihak sifat Ilahi dalam diri kita. Dan,sejauh kita terikat pada konsep diri kita sendiri,citra diri atau keterpisahan, kita selalu terhalang dari keinginan untuk benar benar menempuh jalan spiritual. Ia menahan diri kita dari pengalaman mistis yang paling dalam. Sebab pengalaman semacam itu pengertian yang terpisah menjadi lenyap. Seseorang berkata' semua orang menginginkan Tuhan tetapi bertengkar seperti setan untuk menghindari penyatuan....pas ora ya
kesimpulan saya.....ya pas pasin saja semua kan kalah senior dengan saya...wk wk wkkkk
Tidak ada komentar:
Posting Komentar